Senja tak kalah eksotis dengan Fajar. Senja adalah bagian waktu dalam hari di mana setengah gelap mencapai titik bumi. Senja hadir tatkala matahari sudah terbenam dan ketika wujud matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Dari senja aku belajar akan satu hal bahwa terang tak selamanya ada. Meskipun sehebat apapun di mata semesta, sebagaimana kisah cintaku bersamanya, seampuh, dan semandraguna apapun cintaku padanya. Karena pada akhirnya, cintaku berakhir juga.
Padahal aku berjuang mati–matian deminya. Betapa elok dirinya, dengan mudah meruntuhkan mimpi-mimpiku dan meregas harapanku, dengan alasan aku orang jauh, aku dari suku madura, weton yang tak cocok dan tak direstui orang tuanya. Sehingga dirinya mengambil keputusan bahwa jalan terbaik adalah memutuskanku. Apakah tak ada jalan lain selain putus? Kita semua tahu, dalam cinta butuh perjuangan dan pengorbanan. Sesulit apapun dalam cinta seharusnya dihadapi bersama. Tentunya dia percaya pada keajaiban cinta. Bukan mengambil keputusan sepihak. Ingat, sejak awal dirinya tahu namaku siapa, asalku dari mana. Mungkin dirinya sudah amnesia atau pura–pura hilang ingatan? Seandainya aku punya mantra yang bisa menyihir dirinya, sehingga dapat menghadirkan dirinya yang dulu untuk dipertemukan dengan dirinya yang sekarang, supaya ia ingat kembali kalau dirinya pernah mengungkapkan cinta, maka apakah dirinya berani? Tidak ‘kan. Tak usah banyak alasan. Mungkin ini hanya akal–akalannya saja. Sudah cukup aku dijadikan bahan permainan. Jujur saja, jika di balik sana ada orang baru yang sangat ia cintai. Mungkin ini yang membuat dirinya berbeda, dan berubah.
Dalam hal ini aku diselimuti gelap. Berbulan-bulan lamanya aku didekam dalam penjara patah hati. Hampir aku mati dibuatnya. Jiwaku terasa lepas dari ragaku. Aku tak berdaya, diliputi ketakutan secuil pun aku tak berani menatap dunia yang penuh drama. Kini Patah hati yang aku alami membuatku benar-benar sekarat. Terlebih lagi, saat itu tidak ada satu orang pun yang mengerti tentang perasaanku. Bisanya hanya menghina dan mencaci maki diriku dan perasaanku. Di fase itu, aku merasa hidup tak hidup dan mati tak mati. Pada saat itu, ingin rasanya aku lari ke luar angkasa menemui Tuhan langsung agar aku dimatikan lalu dimandikan dengan air telaga surga agar perasaanku padanya itu luntur. Setelah itu baru aku dimakamkan dengan cinta. Karena itu jauh lebih baik dibandingkan aku jadi bulan-bulanan dunia.